Menjelang akhir tahun, biasanya banyak hiburan yang menanti
buat dijamah. Bagiku, hiburan yang paling kusuka saat ini ya nonton film. Dari banyaknya
film yang rilis di Desember ini, aku akhirnya memutuskan untuk nonton film Imperfect.
Sejak lama nama film ini memang sudah moncer. Pertama, karena
film ini digarap Ernest Prakarsa bersama istrinya. Kedua, usaha Jessica Mila
dalam menaikkan berat badan dan menurunkannya lagi juga menyita perhatian
publik. Untuk alasan yang kedua ini, aku malah ingat salah satu drama Korea
yang membuatku jatuh hati: Oh My Venus!
Dengan alasan itu akhirnya aku ngotot harus nonton film ini
tepat pas tanggal rilis yakni 19 Desember. Sempat melewati banyak drama, aku
sampai juga di kursi penonton terakhir di sinema itu. Hm, rasanya nano-nano.
Baiklah sekarang kita mulai ngomong film ini. Satu kata untuk
film Imperfect: Perfect. Yap, film ini menurutku sempurna. Mulai dari ide ceritanya
sampai pengejwantahan ide cerita ke setiap adegan bagiku pas banget. Kalau masalah
pemain mah udah top dah. Meski ada beberapa wajah baru, akting mereka patut
diacungi jempol.
Pertama, kita bahas tentang ide ceritanya. Menurutku, memilih
untuk mengadaptsi film dari buku dengan judul yang sama karya Meira Anastasia
ini adalah pilihan yang genius. Tema besar insecurity
memang masih hangat jadi perbincangan publik. Insecurity menjadi topik di sejumlah talkshow, obrolan sesama teman, sampai menjadi bahasan para
psikolog di media sosial.
Tema ini meroket berkat media sosial. Dengan kebebasan
berpendapat yang diberikan media sosial, semua penggunanya bebas untuk
memberikan komentar terhadap apapun kepada siapapun. Tentu saja tidak semua
komentar itu baik, ada juga yang jahat.
Komentar-komentar jahat a.k.a nyinyir sebenarnya sudah ada
sejak dulu kala. Sebelum ada istilah “nyinyir” paling banyak orang
menarasikannya dengan istilah “omongan tetangga”. Nah, berkat media sosial,
makin banyak komentar-komentar nyinyir itu yang bisa dilihat khalayak ramai.
Selebgram dan artis adalah kelompok yang paling banyak menjadi
target dari “nyinyirer”. Ya gimana, wong
mereka terkenal kok, selain lovers pasti
ada haters dong. Banyak juga
selebgram atau artis yang diam-diam pergi ke psikolog karena merasa insecure pada diri sendiri yang berasal
dari komentar nyinyir para pengikutnya.
Lebih khusus lagi, film ini membahas tentang topik yang lebih
mengerucut, body shaming. Yap,
komentar perihal badan yang menyakitkan itu memang sangat mudah terucap. “Kamu
gendutan ya?”, “Eh, kok kamu kurusan sih? Lagi diet ya apa lagi gak ada duit?”,
“Dih, gigimu gak rata.” Itulah beberapa komentar yang sangat mudah terucap. Bahkan,
sebagian orang nggak menyadari, atau menyadri tapi menafikan, kalau pertanyaan
semacam itu termasuk body shaming.
Hal inilah yang dirasakan Rara alias Jessica Mila. Sejak kecil
dia didiskriminasi ibunya sebab gendut, berkulit gelap, dan berambut keriting. Fisiknya
sama sekali berbeda dengan adiknya, Lulu yang diperankan Yasmin Napper. Lulu diibaratkan
sebagai perempuan yang memenuhi standar ideal para perempuan.
Isu fisik ini makin santer saat Rara tumbuh dewasa. Dia selalu
mendapat diskriminasi baik di rumah, di kantor, ataupun di tempat lain. Isu ini
dialami sebagian orang di Indonesia, termasuk saya. Kalau di luar negeri,
kecuali di Korea, isu ini tampaknya tak terlalu serius.
Dari situlah Rara merasa insecure.
Dia nggak percaya diri dengan kemampuannya. Bahkan, sekalipun dia punya ide-ide
cemerlang, Rara hampir gak bisa duduk di posisi penting karena bentuk badannya.
Hingga akhirnya Rara bertekad untuk menurunkan berat badannya dan mengubah
penampilannya.
Pacar Rara, Dika yang diperankan Reza Rahadian, sebenarnya
nggak mempermasalahkan fisik Rara. Dika justru mengaku kadung cinta dengan
ketidaksempurnaan Rara. Sampai suatu saat, perubahan Rara nggak cuma ke ranah
fisik tapi pikiran dan perilaku Rara yang menyebalkan. Dika pun kecewa dan
hampir meninggalkan Rara. Namun, di akhir cerita, Rara sadar akan perbuatannya
dan kembali berubah ke kebiasaannya semula.
Menurutku, film ini sungguh-sungguh menghibur. Film ini mampu
membawa pesan yang berat dengan format yang ringan. Di beberapa bagian,
sutradara memberi penekanan tentang tema yang diangkat. Tema insecure dengan penekanan di body shaming ini benar-benar
dieksplorasi Ernest sampai tuntas.
Akting pemain juga pas, natural. Guyonan di sini cukup
menghibur, nggak krik-krik. Bahkan, tingkah empat penghuni kos ibunya Dika
terlihat sangat natural. Ciamik! Penonton di studio pun acap tertawa terpingkal-pingkal selama menonton.
Namun, ada beberapa guyonan yang bagiku nggak berakhir lucu
karena aku sudah melihatnya di trailer.
Nggak banyak sih, sekitar dua guyonan saja yang sudah “bocor” lucunya.
Dan, akhirnya aku merekomendasikan film ini bagi kamu yang
sedang atau pernah merasa insecure. Film
ini sangat layak ditonton untuk menghabiskan libur akhir tahun.